Telah lahir generasi baru teroris. Mereka adalah siswa SMP dan SMA dari sekolah-sekolah umum. Mereka mengikuti program ekstra kurikuler di masjid-masjid sekolah. Mereka dijejali dengan doktrin bahwa penguasa adalah thagut/kafir/musuh.
Begitulah Metro TV memberitakannya dalamBreaking News, Rabu, 5 September lalu, berdasarkan penelitian seorang profesor bernama Bambang Pranowo. Secara mudah, dengan membaca ciri-ciri generasi baru teroris yang dimaksud, telunjuk tangan siapa pun akan mengarah pada ROHIS (Rohani Islam).
Berita ini mengingatkan saya pada peristiwa tiga tahun silam saat media ramai-ramai mewartakan penangkapan Noordin M Top (NMT) di Temanggung, Jawa Tengah. Ketika itu, seorang wartawan dengan yakinnya mengabarkan bahwa itu adalah NMT. Saat itu juga seluruh stasiun tv berlomba-lomba menyajikan tayangan seputar perburuan ini. TV One menayangkan penyergapan itu secara live. Masyarakat seolah dipaksa untuk menerima informasi mentah-mentah bahwa NMT telah tewas.
Prinsip check dan recheck diabaikan. Mereka juga mengabaikan salah satu kredo paling penting dalam pemuatan berita: Show it, don’t tell. Tunjukkan, jangan cuma cerita. Sekitar dua tahun saya pernah menimba ilmu jurnalistik pada salah seorang asabiqunal awwalun Majalah Tempo: Yudhistira ANM Massardi. Ia tak bosan mengingatkan saya untuk memperhatikan kredo tersebut.
Tak satu pun pewarta yang melihat secara langsung bahwa orang yang ditembak itu adalah NMT. Mereka tak bisa menunjukkan bahwa sosok itu adalah NMT. Tapi mereka begitu bersemangat mengabarkan bahwa yang tertembak adalah NMT. Dan hampir seluruh media massa mengamininya dalam pemberitaan keesoka harinya. Lalu tak ada satupun yang kemudian meminta maaf setelah diketahui yang tertembak adalah Ibrohim.
Jika sudah menyangkut terorisme, ghiroh media massa begitu luar biasa. Bombastis. Tendensius. Apapun peristiwa peledakan, tanpa melihat target, jumlah korban, kualitas bom, dan lainnya, maka media akan menghidangkannya kepada publik sebagai berita terorisme. Penyerangan di Solo yang “hanya” memakan korban satu orang dan lebih layak disebut peristiwa serangan biasa, diberitakan sebagai aksi teroris. Bom rakitan yang sempat meledak di rumah Thoriq dengan skala yang kecil pun disebut teroris.
Usai kita menyaksikan dan membaca berita, seolah-olah negeri ini dikepung teroris. Seakan-akan tetangga-tetangga kita adalah teroris. Masyarakat dicekam ketakutan. Rasa curiga membuncah satu sama lain. Berita teroris akhirnya menjadi teror tersendiri bagi masyarakat.
Kasus pemberitaan bahwa Rohis adalah generasi baru teroris menjadi bukti lain betapa gegabahnya para jurnalis membuat berita---tanpa mengindahkan kode etik dan 9 Elemen Jurnalistik Bill Kovach. Sebuah penelitian yang entah bagaimana metodeloginya dan belum tentu benar, langsung dipublish tanpa prinsip cover both sides. Dan kredo show it, don’t tell it kembali mereka langgar.
Apa buktinya jika Rohis jadi sarang teroris? Apakah mereka bisa menunjukkan bahwa memang ada anak Rohis yang menjadi teroris? Lalu apakah mereka bisa menunjukkan bahwa materi dan metodologi yang disampaikan pada acara-acara Rohis mampu membentuk generasi baru teroris? Jawabannya tidak ada. Berita ini pada muaranya hanya menjadi teror bagi masyarakat, bagi orangtua yang memiliki anak yang aktif di Rohis, bagi anak-anak Rohis dan bagi umat Islam.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teror adalah tindakan seseorang atau kelompok yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk menimbulkan rasa takut agar tujuannya tercapai. Secara etimologis, terorisme (terrorism) berasal dari kata terror. Menurut Oxford Paperback Dictionary, teror artinya extreme fear (rasa takut yang luar biasa), a terrifying person or thing (seseorang atau sesuatu yang mengerikan). Terrorism diartikan sebagai use of violence and intimidation, especially for political purposes (penggunaan kekerasan dan intimidasi, utamanya bagi tujuan-tujuan politik).
Sementara Encyclopedia Americana menyebutkan, terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan yang terbatas pada kerusakan fisik namun berdampak psikologis tinggi karena ia menciptakan ketakutan dan kejutan. Keefektifan terorisme lebih bersifat politik ketimbang militer. Dengan demikian, aksi teroris dimaksudkan untuk mengkomunikasikan sebuah pesan. Di sini, terorisme bisa dipahami sebagai salah satu bentuk komunikasi dengan kandungan “pesan politik”.
Dalam pandangan saya, berita-berita seputar terorisme yang secara massif dilakukan tanpa mengindahkan prinsip-prinsip jurnalistik adalah sebuah bentuk kekerasan visual (gambar) dantext (tulisan). Ketika berita ini terus menerus ditayangkan, yang lahir kemudian adalah rasa takut publik. Itulah jurnalisme terror. Itulah teror dalam bentuk lain.
Anak-anak Rohis bukanlah generasi baru teroris. Kebetulan saya memiliki murid mengaji yang berasal dari Rohis sebuah SMA. Selama mengajar mereka, saya tak pernah memberikan materi bagaimana membuat bom dan menyebarkan kebencian kepada agama atau kelompok lain. Mereka adalah anak-anak yang berpikiran terbuka, kreatif, maju, cerdas, tidak hedonis. Dan potret anak-anak Rohis seperti ini juga terdapat di seluruh penjuru Nusantara.
Lalu siapa sebenarnya generasi baru teroris? Anak-anak Rohis atau Jurnalis yang telah membuat berita yang meneror masyarakat?
Wallahua’lam
Edited by: Yahya Abdurrosyid M